Indonesia Kritis: Akankah Negara Ini Akan Terkoyak Seperti Yugoslavia Hanya Karena Pola Kepemimpinan Yang Lemah Dalam Meredam Konflik SARA Yang Terus Menerus Terjadi?

Indonesiaku tercinta. Negara yang menjadi tempat hidup bagi hampir 250juta jiwa kini berubah menjadi neraka bagi kaum minoritas hanya karena ketidakmampuan negara dalam menjamin hak konstitusional rakyat.

Kekerasan terus terjadi. Korban berjatuhan tanpa ada pembelaan. Ucapan bela sungkawa dan rasa prihatin yang dengan gampangnya keluar dari mulut para pembesar hanyalah retorika semata. Sepertinya membunuh dengan mengatasnamakan agama  sudah menjadi kewajaran dalam mengejar supremasi sebuah agama tertentu.

Presiden sebagai figur sentral yang semula diharapkan dapat menjadi pemersatu ternyata gagal dalam menjalankan amanat rakyat. Radikalisme yang terus berkembang lambat laun akan menyeret bangsa ini kedalam jurang perpecahan yang jika  tidak segera ditangani secara serius akan membuat negara ini terkoyak-koyak, sama seperti Yugoslavia di masa lalu.

Yugoslavia dapat menjadi contoh kongkrit betapa mahalnya harga sebuah persatuan yang dilandasi pada perbedaan etnis, suku, dan agama, yang telah lama terpelihara sebagai sebuah harmoni tetapi akhirnya hancur sepeninggal sang pemersatu, Joseph Broz Tito. 
Sepeninggal Tito, kehidupan politik dan negara seakan-akan kehilangan arah. Negara yang kemudian dipimpin secara kolektip oleh suatu badan Presidensi berjumlah delapan orang dan partai juga dipimpin Presidium beranggotakan 24 orang, ternyata praktek pengambilan keputusan sering berbenturan satu sama lain, sesuai dengan kepentingan masing-masing dan memperdalam perpecahan. Demikian juga pengaruh pimpinan Federal (partai maupun Negara) menjadi semakin berkurang, dan dilain fihak pengaruh kekuasaan Republik bagian menjadi bertambah kuat.

Walaupun Perjuangan bangsa Yugoslavia untuk mengusir penjajah sudah dimulai oleh Serbia dan Montenegro yang mendapat pengakuan kemerdekaan sepenuhnya dalam tahun 1878, tetapi semuanya seakan menjadi sia-sia ketika pada tahun 1991 Slovenia dan Kroasia menarik anggotanya dari badan kolektip tersebut dan kemudian diikuti oleh wakil-wakil dari Republik Makedonia dan Bosnia Herzegovina. Puncak dari memburuknya situasi politik di Yugoslavia ialah ketika pada tanggal 25 Juni 1991 Slovenia  dan Kroasia  memproklamirkan kemerdekaan dan kedaulatannya secara sefihak yang diikuti dengan pembentukan mata uang sendiri, termasuk pembentukan Angkatan Bersenjata dan penentuan tapal batas wilayah negara sendiri.

Akhirnya sekarang kita dapat melihat bahwa Negara Republik Federasi Sosialis Yugoslavia telah terpecah menjadi negara 6 negara baru yakni Serbia, Kroasia, Montenegro, Slovenia, Bosnia, dan Macedonia.


PERSATUAN INDONESIA
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari dari ribuan kelompok suku bangsa yang tersebar dari mulai Sabang sampai Merauke akhirnya menjadi sebuah negara yang berdaulat penuh seiring dengan pengakuan dunia atas kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 pada Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949.
Tentu saja perjuangan menuju pengakuan kedaulatan tersebut bukanlah domain sekelompok suku atau agama tertentu saja, melainkan sebuah perjuangan kolektip dari semua elemen masyarakat yang menginginkan terbentuknya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Negara yang berhak menentukan nasibnya sendiri, tanpa campur tangan negara lain.

Semangat persatuan yang terejawantahkan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan semangat Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah "Masterpiece" yang seharusnya dapat menjadi solusi dalam menjembatani berbagai macam perbedaan yang ada, baik agama, suku, ras, maupun golongan. Seharusnya semangat nasionalisme dapat meredam sikap fanatisme yang berlebihan karena itu merupakan buah dari kesepakatan awal, pada saat kita sepakat membentuk republik ini.
Konflik horizontal yang terus terjadi seolah menjadi "jawaban" dari rakyat atas semua ketidakadilan dan kesemerawutan yang ada di negara ini. Korupsi yang merajalela, lemahnya penegakan supremasi hukum, aparat penegak hukum yang dapat "dibeli" dan demokrasi yang kebablasan  adalah sebuah realita dari bangsa ini.

Pemerintah sebagai garda terdepan yang seharusnya bertugas menjaga stabilitas nasional ternyata tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Banyaknya konflik kepentingan ditengarai menjadi penyebab utama kegagalan tersebut. SBY yang terus menerus berpidato meyakinkan rakyat terlihat seperti orang munafik disaat kekerasan yang tanpa henti menelan korban jiwa terus terjadi.
Pertanyaannya adalah Pernahkah SBY merasa benar-benar menjadi rakyat dan merasakan apa yang dirasakan rakyat?, Mengapa slogan "Menegakkan hukum tanpa melanggar hukum" dirasa tetap efektip disaat pada kenyataannya terus terjadi pembiaran atas semua tindak kekerasan yang terus saja terjadi dan bukankah langkah pembiaran adalah juga merupakan perbuatan yang melanggar hukum?. Ingat, rakyat sangat mengharapkan ketegasan  pemerintah dalam mengatasi persoalan ini.

Dalam tulisan ini dengan tegas saya ingin menyampaikan bahwa SBY bukan hanya Presiden bagi sebuah kelompok agama tertentu saja, beliau adalah Presiden dari seluruh rakyat Indonesia. Tidak perduli apakah itu dari kelompok mayoritas ataupun minoritas.

Menurut saya istilah mayoritas-minoritas tidaklah relevan bagi sebuah kelompok bangsa yang telah menyatakan dirinya bersatu. Alasannya sederhana, kita berbeda dalam hal agama karena kita telah menerima kedatangan para penyebar agama dimasa lalu. Ingat, nenek moyang kita telah hidup berdampingan ditanah air yang sama jauh sebelum para penyiar agama tersebut datang.
Lalu mengapa sekarang kita menjadi begitu fanatik hanya karena kita berbeda?. Ini tanahku, tanahmu juga. Ini Indonesiaku, Indonesiamu juga. Dan inilah Indonesia yang tumbuh diatas pusara nenek moyang kita yang mungkin dulu belum mengenal agama. 

Dalam istilah Belanda kita disebut sebagai "inlander" atau pemilik tanah dan tanahku sebagai tempat hidupku akan tetap kupertahankan sampai aku mati dan tiada seorangpun  dengan alasan apapun dapat mengusirku dari tanah ini.

Bersatulah kembali Indonesiaku. Mari kita perangi orang-orang yang tidak menginginkan  terciptanya kerukunan umat beragama di Indonesia. Mereka adalah musuh kita bersama. Musuh setiap anak bangsa yang mengaku dirinya sebagai nasionalis sejati. 

MERDEKA...!!



0 Response to "Indonesia Kritis: Akankah Negara Ini Akan Terkoyak Seperti Yugoslavia Hanya Karena Pola Kepemimpinan Yang Lemah Dalam Meredam Konflik SARA Yang Terus Menerus Terjadi?"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme